RM.id Rakyat Merdeka – Pemilu 2024 telah usai, dan masyarakat Indonesia kini memasuki fase menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU. Terlepas siapa pun dan partai apa pun yang memenangkan kontestasi Pemilu 2024, eksekutif dan legislatif yang dilantik adalah mereka yang telah mendapatkan mandat dari rakyat Indonesia secara konstitusional. Maka dari itu, menjadi tidak relevan jika saat ini masih ada yang membahas perbedaan kubu saat kampanye sebelum Pemilu.
Menyikapi perbedaan pandangan yang muncul selama kampanye, Guru Besar Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya, Prof Khairil Anwar, berbicara tentang pentingnya rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pasca-Pemilu. Ia mengungkapkan gagasannya tentang langkah-langkah rekonsiliasi dan upaya menjaga harmoni di tengah perbedaan.
“Seluruh pihak yang telah selesai berkompetisi perlu melakukan rekonsiliasi secara arif dan bijaksana, terutama di tengah dinamika politik pasca-Pemilu 2024. Menurut saya, langkah pertama rekonsiliasi dapat dimulai dari simpul-simpul antar partai politik yang sempat berbeda dalam menentukan dukungan dan pandangannya,” terang Prof Khairil.
Seringkali perbedaan sikap dalam Pemilu yang mulanya terjadi di tingkatan pejabat dan partai politik, ikut turun dan meresap di tingkatan akar rumput. Bahkan, ketika Pemilu telah benar-benar usai, segregasi dan konflik horizontal menjadi residu yang tidak langsung dapat dihilangkan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Tengah ini juga mengusulkan adanya pertemuan antara perwakilan partai politik, termasuk tokoh-tokoh nasionalis dan agamis yang dianggap dapat mendekati berbagai pihak. Dia lalu menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono X, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama, dan Prof Haedar Nashir dari Muhammadiyah, yang dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Prof Khairil menegaskan, pemilihan tokoh-tokoh ini tidak semata-mata berdasarkan afiliasi politik, melainkan berfokus pada karakter inklusif dan wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh mereka. Dirinya menyatakan, langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempersatukan Indonesia pasca-Pemilu.
Selain menyoroti pentingnya rekonsiliasi, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalteng ini juga menjelaskan konteks politik identitas, termasuk yang memiliki label agama. Ia menyatakan, politik identitas sebenarnya dapat menjadi instrumen positif, tergantung pada cara penggunaannya.
“Sebagai contoh, kita bisa melihat pada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah pernah juga melakukan politik identitas yang inklusif dan dapat menyatukan umat, serta mempersatukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, terhadap politik identitas yang eksklusif, yang mendorong ujaran kebencian dan ketidakadilan, harus kita tinggalkan,” ungkapnya.
Prof Khairil juga membahas dampak politik identitas, terutama dalam konteks Pemilu. Ia mencermati bahwa politik identitas yang bersifat eksklusif masih ada di Pemilu kali ini, namun tidak separah Pemilu di tahun sebelumnya. Meskipun demikian, ia menekankan peningkatan ujaran kebencian sebagai isu yang patut diwaspadai.
Terkait seberapa bijaksananya masyarakat Indonesia dalam menyikapi proses yang terjadi pada Pemilu 2024, Rektor IAIN Palangkaraya periode 2019-2023 ini menyayangkan kurangnya kepedulian sebagian orang. Padahal, segala keputusan yang dihasilkan melalui Pemilu menjadi krusial bagi hajat hidup rakyat Indonesia.
“Saya kira pendewasaan masyarakat bangsa ini dalam berpolitik masih belum matang. Kesadaran akan pentingnya peran aktif sebagai warga negara, khususnya melalui hak pilih, perlu ditingkatkan. Saya berharap masyarakat dapat memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap arti kebangsaan dan tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin,” jelas Imam Besar Masjid Darussalam (Islamic Center) Palangkaraya ini.https://tanyakanpada.com/